Cari Blog Ini

Jumat, 16 Oktober 2009

FIQIH

Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syariat, mengenai perilaku manusia dalam kehidupannya yang diperoleh dari dalil-dalil Islam secara rinci. Ruang lingkup fiqih adalah pada hukum-hukum Islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan, seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah (boleh). Hukum-hukum fiqih terdiri dari hukum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, dan urusan muamalah dalam kaitannya dengan hubungan horizontal antara manusia dengan manusia lainnya.

Pengertian fiqih berbeda dengan pengertian syariah. Syariah adalah agama atau hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengatur kehidupan manusia. Perbedaan yang paling mendasar antara fiqih dan syariah adalah syariah itu berupa wahyu ilahy, sedangkan fiqih merupakan hasil ijtihad (tafsiran) manusia yang ditafsirkan dari wahyu ilahy, berdasarkan pemahamannya tentang dimensi praktis dalam syariah.

Ruang lingkup fiqih mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab, dengan istilah iqtishady. Iqtishady (ekonomi) adalah suatu cara bagaimana individu-individu dan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai alternatif pemakaian atas alat-alat pemuas kebutuhan yang tersedia, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh manusia dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas.

Fiqih ekonomi (fiqih iqtishady) dalam Islam, mencakup tentang aturan-aturan atau rambu-rambu yang diperoleh dari hasil ijtihad manusia yang didasarkan pada wahyu Ilahi (Al-Qur’an dan Al-Hadist), berkenaan dengan bagaimana manusia (individu-individu dan masyarakat) dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, dengan membuat pilihan-pilihan dalam menggunakan sumber-sumber daya yang tersedia. Kajian fiqih ekonomi terfokus pada bidang-bidang yang ada dalam ilmu ekonomi, yaitu peraturan mengenai hak milik individu, teori produksi, teori konsumsi, dan berbagai prinsip-prinsip ekonomi yang ada di dalamnya, seperti prinsip keadilan, prinsip ihsan (berbuat kebaikan), prinsip mas’uliyah (pertanggungjawaban), prinsip kifayah (kecukupan), prinsip wasathiyah (keseimbangan), prinsip waqi’iyah (realistis), prinsip kejujuran, dan sebagainya.

SUMBER-SUMBER FIQIH

Fiqih Islam secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqly berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist, dan dalil aqly berupa akal (ijtihad). Penetapan sumber fiqih Islam ke dalam tiga sumber, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadist, dan akal (ijtihad) didasarkan pada hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, yaitu:

Diriwayatkan oleh Mua’dz bin Jabal, bahwa ketika ia mendapat mandat dari Rasulullah sebagai duta ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya: “Bagaimana anda akan memutuskan suatu hukum apabila diharapkan kepada anda suatu perkara?” Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada kitab Allah Al-Qur’an”. Nabi bertanya: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya di dalam Al-Qur’an?”. Mua’dz menjawab: “Saya akan berpedoman kepada Sunnah (Al-Hadist)”. Nabi bertanya lagi: “Bagaimana kalau anda tidak menemukannya?”. Dan Muadz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan akal pikiran saya”.

Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akherat. Al-Qur’an merupakan referensi utama umat Islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan. Sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, Al-Qur’an mesti dinomorsatukan oleh umat Islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu perkara dalam kehidupan. Ayat-ayat Al-Qur’an mesti didahulukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang muncul ke permukaan, karena dari segi lafazh dan maknanya bersifat qath’iyyu al wuruud, yaitu tidak diragukan lagi keasliannya. Umat Islam dilarang mengambil hukum dan jawaban atas problematika dari luar Al-Qur’an selama hukum dan jawaban tersebut dapat ditemukan dalam nash-nash Al-Qur’an.

Al-Hadist.
Al-Hadist adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Al-Hadist merupakan sumber fiqih ke dua setelah Al-Qur’an yang berlaku dan mengikat bagi umat Islam. Hal ini dipertegas Al-Qur’an dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, yaitu:

“Dan apa yang berasal dari Rasulullah maka ambillah, dan apa yang dilarang maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah pedih siksanya”.

Fungsi Al-Hadist dalam sistematika hukum Islam ada tiga, yaitu: 1) Memperkuat apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, 2) Sebagai penjelas Al-Qur’an, yaitu merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang global, membatasi ayat-ayat yang mutlak, dan mengkhususkan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum dalam aplikasinya, 3) Menetapkan hukum yang belum diatur di dalam Al-Qur’an

Ijma’ dan Qiyas.

Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja. Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash, dikarenakan oleh persamaan illat (kausa) hukum. Secara teknis penggunaan metode qiyas dimulai dengan identifikasi illat hukum yang terdapat dalam nash, dilanjutkan dengan memastikan apakah illat tersebut juga dimiliki oleh hukum baru yang tidak tersebut dalam nash, baru diambil kesimpulan bahwa kedua kasus itu sama illat, dan dengan kesamaan illat itu disimpulkan kesamaan hukum.

FIQIH MAQASHID SYARIAH

Maqashid syariah adalah tujuan-tujuan syariat dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan oleh Allah dalam setiap hukum dari keseluruhan hukumNya. Inti dari tujuan syariah adalah “maslahah” atau manfaat. Keseluruhan produk hukum Islam adalah untuk kemaslahatan dan manfaat bagi manusia. Kemaslahatan manusia ini oleh Imam Ghozali dirinci dalam lima aspek kehidupan yang menjadi aspek pokok tujuan syariat. Ke lima aspek tersebut adalah: 1) terpeliharanya agama, 2) terpeliharanya jiwa, 3) terpeliharanya akal, 4) terpeliharanya keturunan, dan 5) terpeliharanya harta atau modal.

Dalam memelihara lima aspek pokok tujuan syariat di atas, ada dua metode yang digunakan, yaitu pemeliharaan secara preventif, dan pemeliharaan secara pro aktif. Metode preventif berarti melestarikan dan memelihara lima aspek tersebut dengan melarang perbuatan-perbuatan yang berakibat bagi kerusakan lima aspek tersebut, atau dengan memberikan hukuman berupa sanksi bagi yang melanggar. Contoh dalam pemeliharaan preventif ini adalah: sanksi bagi yang meninggalkan sholat (pemeliharaan agama), larangan membunuh (pemeliharaan jiwa), larangan minum-minuman yang memabukkan (pemeliharaan akal), larangan zina (pemeliharaan keturunan), larangan makan harta orang lain secara bathil (pemeliharaan harta). Sedangkan metode pro aktif dilakukan dengan cara memberikan perintah untuk mengerjakan amalan demi terpeliharanya ke lima aspek pokok tujuan syariat. Contoh dalam pemeliharaan pro aktif ini adalah: perintah sholat (pemeliharaan agama), perintah mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (pemeliharaan jiwa), perintah belajar (pemeliharaan akal), perintah nikah (pemeliharaan keturunan), dan perintah bekerja (pemeliharaan harta).

Tujuan-tujuan syariah dalam ekonomi juga diatur dalam kaitannya dengan maqashid syariah. Sebagaimana aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat, dalam hukum-hukum Islam yang mengatur perekonomian juga memiliki tujuan dan hikmah. Tujuan dan hikmah dalam sistem ekonomi adalah: 1) Perputaran atau sirkulasi (al tadaawul), 2) Jelas atau legal (al wudluuh), 3) Keadilan dalam harta (al adl fil al amwaal), 4) Terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzoliman.

Dalam tujuan sirkulasi, hendaknya harta atau modal yang dimiliki seseorang mengalami perputaran di tengah masyarakat dengan jalan infaq (belanja), baik infaq konsumsi, produksi, investasi maupun donasi. Tujuan jelas dan legal, ditujukan agar harta atau faktor produksi yang dimiliki oleh seseorang itu terhindar dari peluang adanya pertikaian dan perselisihan, sehingga harta tersebut mesti jelas statusnya dan legal kepemilikannya. Tujuan keadilan dalam harta adalah agar manusia menginfakkan harta tersebut melalui konsumsi, produksi investasi maupun donasi, dan menghindarkan diri dari perbuatan berlebihan atau infaq yang diharamkan oleh agama. Tujuan terpeliharanya harta dengan menghindarkan dari kedzaliman adalah melarang orang lain mengambil atau berbuat dzalim atas harta seseorang yang berakibat terjadinya kerusakan atau hilangnya harta itu.

KAIDAH FIQIH DALAM TRANSAKSI EKONOMI

Kegiatan ekonomi merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

Kaidah fiqih dalam muamalah di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).

Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam. Sedangkan transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh faktor: 1) haram zatnya (objek transaksinya), 2) haram selain zatnya (cara bertransaksi-nya), 3) tidak sah/lengkap akadnya.

Haram Zatnya (Objek Transaksinya).

Dalam Islam, terdapat aturan yang jelas dan tegas mengenai obyek transaksi yang diharamkan, seperti minuman keras, daging babi, dan sebagainya. Oleh karena itu melakukan transaksi yang berhubungan dengan obyek yang diharamkan tersebut juga diharamkan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya). Kaidah ini juga memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram tersebut menjadi halal.

Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya).

Ada beberapa transaksi yang dilarang dalam Islam yang disebabkan oleh cara bertransaksi-nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis (penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy (rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba (tambahan).

Tadlis. Tadlis adalah sebuah situasi di mana salah satu dari pihak yang bertransaksi berusaha untuk menyembunyikan informasi dari pihak yang lain (unknown to one party) dengan maksud untuk menipu pihak tersebut atas ketidaktahuan atas informasi tersebut. Hal ini jelas-jelas dilarang dalam Islam, karena melanggar prinsip “an taraddin minkum” (sama-sama ridlo). Informasi yang disembunyikan tersebut bisa berbentuk kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.

Ikhtikar. Ikhtikar adalah sebuah situasi di mana produsen/penjual mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply (penawaran) agar harga produk yang dijualnya naik. Ikhtikar ini biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier (hambatan masuk pasar), yakni menghambat produsen/penjual lain masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar (monopoli), kemudian mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun stock (persediaan), sehingga terjadi kenaikan harga yang cukup tajam di pasar. Ketika harga telah naik, produsen tersebut akan menjual barang tersebut dengan mengambil keuntungan yang melimpah.

Bai’ Najasy. Bai’ Najasy adalah sebuah situasi di mana konsumen/pembeli menciptakan demand (permintaan) palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini biasanya terjadi dalam bursa saham (praktek goreng-menggoreng saham). Cara yang bisa ditempuh bermacam-macam, seperti menyebarkan isu, melakukan order pembelian, dan sebagainya. Ketika harga telah naik maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali barang yang sudah dibeli, sehingga akan mendapatkan keuntungan yang besar.

Taghrir. Taghrir adalah situasi di mana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Taghrir terjadi bila pihak yang bertransaksi merubah sesuatu yang seharusnya bersifat pasti menjadi tidak pasti. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bersifat tidak pasti, yaitu kuantitas (quantity), kualitas (quality), harga (price), ataupun waktu penyerahan (time of delivery) atas objek yang ditransaksikan.
Riba. Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis, baik transaksi hutang piutang maupun jual beli. Riba dalam hutang piutang dimaksudkan untuk meminta kelebihan tertentu atas utang yang dipinjamkan pada saat awal transaksi (riba qard), atau memberikan tambahan pembayaran atas utang yang tidak bisa dikembalikan pada waktu jatuh tempo (riba jahiliyah). Riba dalam jual beli dikenakan atas pertukaran dua barang sejenis dengan timbangan/takaran yang berbeda (riba fadl), atau memberikan tambahan atas barang yang diserahkan kemudian (riba nasiah)
.

Tidak Sah/Lengkap Akadnya

Setiap transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka transaksi itu dilarang dalam Islam. Ketidaksah/lengkapan suatu transaksi bisa disebabkan oleh: rukun (terdiri dari pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Two in one terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus sehingga

terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang harus digunakan.

TEORI AKAD DALAM FIQIH EKONOMI ISLAM

Akad adalah pertalian ijab (yang diucapkan salah satu pihak yang mengadakan kontrak) dengan qabul (yang diucapkan pihak lain) yang menimbulkan pengaruh pada obyek kontrak. Pertalian ijab dan qabul ini mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yaitu masing-masing pihak dalam akad terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing sesuai dengan kesepakatan. Di dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga bila salah satu atau kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut melakukan wanprestasi (tidak dapat memenuhi kebutuhannya), maka ia/mereka akan menerima sanksi seperti dalam kesepakatan dalam akad.

Di dalam fiqih muamalah, konsep akad dibedakan dengan konsep wa’ad (janji). Wa’ad adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, yang mengikat satu pihak saja, yaitu pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik, sehingga pihak yang melakukan wanprestasi (tidak memenuhi janjinya), hanya akan menerima sanksi moral saja tanpa ada sanksi hukum.

Akad dalam fiqih muamalah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu akad tabarru’ dan akad tijarah. Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang tidak mengejar keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut.

Contoh dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya. Akad tijarah adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi yang mengejar keuntungan (profit orientation). Akad ini dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan, karena itu bersifat komersiil. Hal ini didasarkan atas kaidah bisnis bahwa “business is an activity for a profit” (bisnis adalah suatu aktivitas untuk memperoleh keuntungan). Contoh dari akad tijarah adalah akad-akad bagi hasil berupa mudharabah, musyarakah, dan sebagainya, akad-akad jual beli berupa murabahah, salam, dan sebagainya, dan akad-akad sewa menyewa berupa ijarah, ijarah muntahia bi at tamlik, dan sebagainya.

Kaidah fiqih yang berkaitan dengan konsep akad antara tabarru’ dan tijarah ada dua, yaitu: 1). Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah, dan 2). Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’. Akad tabarru’ tidak boleh dirubah menjadi akad tijarah memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bermaksud untuk tidak mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad ternyata pihak yang terkait di dalamnya mengharapkan keuntungan dari transaksi tersebut, maka transaksi itu dilarang. Hal ini didasarkan atas kaidah prinsip: “kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba” (setiap qard yang mengambil manfaat adalah riba). Menggabungkan tabarru’ dengan manfa’ah adalah kedzaliman karena melakukan suatu akad berlainan dengan definisi akadnya, sehingga transaksi tersebut akan menimbulkan adanya riba nasi’ah. Hal ini juga melanggar prinsip “la tadzlimuna wa la tudzlamun” (jangan mendzolimi dan jangan sampai didzolimi).

Akad tijarah boleh dirubah menjadi akad tabarru’ memberi arti bahwa dalam setiap transaksi yang asalnya bertujuan mendapatkan keuntungan, kemudian setelah terjadinya akad pihak yang terkait di dalamnya meringankan/memudahkan pihak yang lain dengan menjadikan akad tersebut menjadi akad tabarru’ (tanpa ada tambahan keuntungan), maka transaksi itu dibolehkan, bahkan dalam situasi tertentu hal itu dianjurkan. Misalnya, terjadi suatu akad jual beli antara si A dan si B, di mana si A menjual barang X kepada si B dengan harga Rp. Y secara tangguh (dibayar pada suatu waktu yang ditentukan). Setelah terjadinya akad, pada saat jatuh tempo (maturity time) ternyata si B tidak dapat membayar hutang karena mengalami kesulitan ekonomi. Maka dalam kaidah fiqih, si A dibolehkan atau bahkan dianjurkan memberikan keringanan/kemudahan bagi si B untuk memberikan waktu tambahan dalam pembayaran hutangnya, atau kalau keadaan si A memang benar-benar tidak dapat membayar, si B diharapkan untuk memberikan keringanan berupa pembebasan hutang tersebut.
WaLlahu a’lam bi as shawab

Perdagangan dalam Al-quran

Perdagangan atau bisnis adalah suatu yang terhormat di dalam ajaran Islam, karena itu cukup banyak ayat Al-quran dan hadits Nabi yang menyebut dan menjelaskan norma-norma perdagangan. C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran menerangkan bahwa Alquran memakai 20 terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang sebanyak 720 kali.

Penghargaan Nabi Muhammad terhadap perdagangan sangat tinggi, bahkan beliau sendiri adalah seorang aktivis perdagangan mancanegara yang sangat handal dan pupolis. Sejak usia muda reputasinya dalam dunia bisnis demikian bagus, sehingga beliau dikenal luas di Yaman, Syiria, Yordana, Iraq, Basrah dan kota-kota perdagangan lainnya di Jazirah Arab. Kiprah Nabi Muhammad dalam perdagangan banyak dibahas oleh Afzalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader.

Dalam berbagai sabdanya ia seringkali menekankan pentingnya perdagangan dalam kehidupan manusia. Dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Al-Ashbahani diriwayatkan sebagai berikut :

ان أطيب الكسب كسب التجار الذين اذا حدثوا لم يكذبوا واذا وعدوا لم يخلفوا
واذا ائتمنوا لم يخونوا واذا اشتروا لم يذموا واذا باعوا لم يمدحوا واذا كان
عليهم لم يمطلوا واذا كان لهم لم يعسروا

Artinya, Dari Mu’az bin Jabal, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit” (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani).
Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad saw juga mengatakan,

عليكم بالتجارة فإن فيها تسعة أعشار الر زق (رواه أحمد)

Artinya, Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 % pintu rezeki (H.R.Ahmad).

Namun demikian, ada aturan-aturan syariah yang harus diikuti dalam kegiatan perdagangan agar tujuan yang sesungguhnya dari perdagangan itu dapat tercapai, yaitu kesejahteraan manusia di duniawi dan kebahagian akhirat, yang disebut Umar Chapra dengan istilah falah. Tanpa mengikuti aturan syariah, kegiatan perdagangan akan membawa ketimpangan dan chaos dalam kehidupan manusia.

Makalah ini akan membahas ayat-ayat Al-quran yang berkaitan dengan perdagangan dan keuangan yang terkait dengan bisnis, karena bagaimanapun kegiatan perdagangan tersebut tidak bisa dilepaskan dari persoalan keuangan, seperti keharusan adanya pencatatan keuangan (akuntansi) yang baik dan akuntatable (bisa dipartanggung jawabkan).
Makalah ini memilih satu ayat utama sebagai obyek kajian dan beberapa ayat lainnya yang relevan sebagai pendukung. Kajian ini juga tentunya diperkuat dengan hadits-hadits Nabi dan disertai dengan mengutip beberapa pendapat ulama.

B.Ayat-Ayat Al-quran tentang Perdagangan

Pengungkapan perdagangan dalam Al-quran ditemui dalam tiga bentuk, yaitu tijarah, bay’ dan Syira’.

Kata التجارة- adalah mashdar dari kata kerja (تجر يتجر تجرا و تجارة) yang berarti (باع dan شرى ’) yaitu menjual dan membeli. Kata tijarah ini disebut sebanyak 8 kali dalam Alquran yang tersebar dalam tujuh surat, yaitu surah Albaqarah :16 dan 282 , An-Nisak : 29, at-Taubah : 24 , An-Nur:37 , Fathir : 29 , Shaf : 10 dan Al-Jum’ah :11 . Pada surah Al-Baqarah disebut dua kali, sedangkan pada surah lainnya hanya disebut masing-masing satu kali. Di antara delapan ayat tersebut hanya 5 ayat yang berkonotasi bisnis material. Sedangkan 3 ayat lagi makna tijarah tidak berkonotasi bisnis (perdagangan) yang riel, tetapi dalam makna majazi, yaitu Al-baqarah 16, Fathir: 29 dan Shaf : 10

Sedangkan kata ba’a باع) ) disebut sebanyak 4 kali dalam Al-quran, yaitu 1). Surah Al-Baqarah :254 , 2). Al-Baqarah : 275, 3). Surah Ibrahim 31 dan 4. Surah Al-Jum’ah :9 .

Selanjutnya term perdagangan lainnya yang juga dipergunakan Al-quran adalah As-Syira. Kata ini terdapat dalam 25 ayat. Akan tetapi setelah diteliti, ternyata dari 25 ayat tersebut hanya 2 ayat saja yang berkonotasi perdagangan dalam konteks bisnis yang sebenanya, yaitu pada ayat yang mengkisahkan Nabi Yusuf yang dijual oleh orang menemukannya yang terdapat dalam surah Yusuf ayat 21 dan 22 . Oleh karena itu kata syira sama sekali tidak disinggung dalam makalah ini.

Di antara sekian banyak ayat Al-Quran yang membicarakan perdagangan, makalah ini hanya menjadikan satu ayat saja sebagai ayat utama. Sedangkan ayat-ayat lainnya merupakan ayat-ayat pendukung. Ayat utama tersebut ialah surah An-Nisak ayat 29. Pilihan terhadap kedua ayat ini, karena ayat pertama (An-Nisak 29), berisi tentang larangan memakan harta dengan cara bathil dan keharusan melakukan perdagangan yang didasarkan pada kerelaan. Sedangkan ayat-ayat lainnya merupakan ayat pendukung. Di antara ayat pendukung tersebut ialah surah Al-Baqarah 282 yang berisi tentang konsep pencatatan (akuntansi) dalam kegiatan perdagangan.

ياأيها الذين ءامنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم ولا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما

Artinya, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu, janganlah kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah sangat menyayangi kamu”.

Tafsir Mufradat :

Ayat ini menurut Ali Al-Sayis dengan tegas melarang setiap orang beriman memakan harta dengan cara yang bathil. Memakan harta dengan bathil ini mencakup dua pengertian, yaitu memakan harta sendiri dan memakan harta orang lain. Cakupan ini difahami dari kata ”Amwalakum” (( أموالكم yang artinya harta kamu. Memakan harta sendiri dengan cara bathil misalnya menggunakannya untuk kepentingan maksiat. Sedangkan memakan harta orang lain dengan bathil, adalah memakan harta hasil riba, judi, kecurangan dan kezaliman, juga termasuk memakan harta dari hasil perdagangan barang dan jasa yang haram, misalnya khamar, babi, bangkai, pelacuran (mahr al-baghi), tukang tenung, paranormal, dukun (hilwan al-Kahin) dsb. Semua ini adalah perdagangan yang rusak (fasid) yang dilarang dalam Islam.
Menurut An-Nadawi, bathil itu adalah segala sesuatu yang tidak dihalalkan syari’ah, seperti riba, judi, korupsi, penipuan dan segala yang diharamkan Allah . Menurut Al-Jashshah, termasuk memakan harta dengan bathil adalah memakan harta dari hasil seluruh jual beli yang fasid, seperti jual beli gharar. Sementara itu menurut Tafsir Al-Qasimi, bathil ialah sesuatu yang tidak dibolehkan syari’ah, seperti riba, judi, suap dan segala cara yang diharamkan.
Dalam menafsirkan surah An-Nisak : 29, ”memakan harta dengan jalan bathil ” ini, Ibnu ’Arabi mengatakan, bahwa paling tidak ada 56 jenis dan bentuk perdagangan yang tidak sah dan dilarang dalam Islam.

ما لا يصح ستة و خمسون معنى نهي عنها

Perdagangan yang tidak sah itu itu antara lain, jual beli gharar, memperdagangkan barang barang haram yang tidak bernilai menurut syara, seperti khamar, bangkai darah, berhala, salib, anjing piaraan, bisnis prostitusi (mahr al-baghi), jual beli tipuan (bay’ al ghasysyi), bay’ al muqtaat atau jual beli barang sejenis dengan kuantitas yang berbeda, atau jual beli barang yang tak sejenis tetapi kredit (nasi’ah), ba’i munabazah , Semua ini kata Ibnu ’Arabi termasuk kepada riba. (Wa hazda kulluhu dakhilun fi bay’ ar- riba).

Demikian juga dua jual beli dalam satu jual beli, bay’ al mulamasah , dan menjual sesuatu yang barangnya tidak ada di tangan, jual beli tanaman yang belum jelas hasilnya (ijon), bisnis paranormal, (hilwan kahin), jual-beli barang yang tidak bisa diserahkan, dan membeli sesuatu yang telah dibeli oleh orang lain. Semua ini merupakan perdagangan bathil.
Selanjutnya yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa obyek yang diperdagangkan harus halal dan thayyib. Perintah mengkonsumsi produk yang halal dan thayyib berulang kali disebut dalam Alquran, antara lain Surah Albaqarah : 268, Al-Maidah : 91, Al-Anfal 69 dan An-Nahal 114. Menurut Yusuf Ali, kata thayyib menggunakan tiga frasa untuk menyatakan nilai-nilai etika dan spiritual dalam term halal dan thayyib, yaitu, 1. Barang-barang yang baik, berkualitas, 2. barang-barang yang suci (tidak najis), 3, Barang-barang yang indah. Dengan demikian, barang-barang yang dikonsumsi menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian dan keindahan.

Dalam memahami surah an-Nisak 29 ini Muhammad Husein Ath-Thabathaba’iy melihat bahwa kalimat ولا تأكلوا أموالكم yang dikait dengan بينكم memberi isyarat larangan memakan harta dengan cara yang curang. Sedangkan maksud bil bathil adalah perdagangan yang membawa kerusakan dan kehancuran. Jadi bila perdagangan itu bersih dari kebatilan dan tipuan akan menimbulkan ketentraman masyarakat, bukan hanya terhadap pembeli dan penjual, bahkan lebih dari itu kepada masyarakat secara keseluruhan.
Tijarah ialah jual beli dan sejenisnya yang berkaitan dengan pengembangan harta.Tijarah ada tiga macam, yaitu, 1. ’ain dengan ’ain, inilah jual beli kontan 2.’ain dengan hutang (salam dan istisna), 3. jual beli ’ain dengan manfa’at, ini disebut ijarah/jasa.

Maksud ayat عن تراض منكم, ialah masing-masing pihak rela dan suka dengan suatu transaksi bisnis yang mereka lakukan. Kata tijarah dalam dalam ayat ini, bisa dibaca marfu’ dan bisa juga manshub. Jika dibaca rafa’/marfu’, maka fi’il ”yakunu/ kana” yang ada dalam kalimat itu statusnya adalah fi’il tam, bukan fi’il naqish. Maka, dhamir mustatir yang terdapat pada kata ”takun” kembali kepada kata Amwal (harta), sehingga kalimatnya menjadi, ”Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan bathil, kecuali ”harta” yang kamu peroleh dari hasil perdagangan yang didasarkan kerelaan di anatara kamu”.
Apabila tijarah dibaca marfu’, maka kana/takun itu menjadi fi’il tam, Sehingga kalimatnya menjadi, janganlah kamu bermaksud memakan harta dengan cara yang bathil, kecuali perdagangan yang dilaksanakan saling ridha di antara kamu. Larangan memakan harta sesama secara bathil dalam ayat itu dipertentangkan Allah dengan perdagangan suka sama suka. Hal itu berarti bila memakan harta sesama secara bathil dilarang, maka perdagangan atas dasar suka sama suka diperintahkan, sesuai dengan kaedah.

إذا أمر الله بشيئ كان ناهيا عن ضده و إذا نهى عن شيئ كان أمرا بضده
Artinya, Bila Allah memerintahkan sesuatu, berarti larangan (mengerjakan) lawannya, dan bila dia melarang sesuatu berarti perintah (melakukannya).

Selanjutnya, kata ’an-taradhin direalisasikan dalam bentuk ijab dan qabul, yaitu kata-kata penerimaan dan pembelian dari penjual dan pembeli. Imam Syaf’ii kata Al-Qasimi, juga merumuskan ’an taradhin itu menjadi lapaz ijab dan qabul, karena ridha itu sebenarnya adalah pekerjaan hati, sedangkan yang mengetahui suara hati adalah Allah, maka dalam konteks hukum syari’ah, ridha harus diinterpretasi menjadi lapaz ijab dan qabul .

Khiyar

Kondisi suka sama suka (’an taradhin) antara pembeli dengan pedagang itu diwujudkan di tempat majlis berlangsungnya transaksi dagang tersebut. Dalam hal ini menurut ajaran Islam hak asasi seseorang sangat diihormati. Kemauan adalah hak asasi si pembeli, maka ia tidak boleh dipaksa membeli sesuatu. Kadang-kadang seperti diungkapkan Sayyid Sabiq, mungkin terjadi salah satu pihak melakukan transaksi dengan tergesa-gesa. Setelah transaksi berlangsung nampak adanya keperluan yang menuntut pembatan transaksi tersebut. Bila tidak dibatalkan tentu akan merusak kerelaan dari yang bersangkutan, karena jual beli itu merugikannya. Dalam hal ini si pembeli dapat membatalkan transaksi jual beli selagi ia masih berada di tempat transaksi berlangsung. Ketentuan ini disebut dengan khiyar majlis. Sabda Rasulullah saw, ’ Dari Abdullah bin Harits katanya, aku mendengar Hakim bin Hazam Ra bahwa Nabi saw bersabda. ”Dua orang yang melaksanakan jual beli boleh melakukan khiyar selama mereka belum berpisah Jika keduanaya benar dan jelas, keduanya diberkati dalam jual beli mereka. Jika mereka menyembunyikan dan berdusta, Tuhan akan memusnahkan keberkatan jual beli merek”a (H.R.Bukhari-Muslim)

Pembatalan transaksi juga bisa dilakukan oleh pembeli bila dia menemukan sesuatu cacat pada komoditas yang dia beli. Ini disebut dengan khiyar aib. Penemuan cacat barang tersebut ditemukan pembeli setelah transaski berlangsung. Tetapi bila cacat tersebut diketahui sebelum transakssi dan si pembeli tetap membelinya juga, maka transaksi tersebut tidak dapat dibatalkan lagi sebab si pembeli itu dipandang rela dengan barang tersebut.
Begitu juga si pembeli dapat membatalkan transaksi bila dia tidak mendapatkan syarat-syarat yang telah disepakati bersama oleh pembeli dan penjual sebelum berlangsungnya transaksi, yang disebut dengan khiyar syarat. Adanya tiga macam khiyar ini bertujuan agar kerelaan pembeli untuk melakukan transanski itu memang betul-betul terwujud
Munasabah ayat.

Memakan harta orang lain dengan cara yang bathil adalah suatu kezaliman, Menzalimi orang lain dalam ekonomi, berarti merusak dan membunuh kehidupannya, karena itu Allah mengkaitkan larangan memakan harta dengan batil dengan larangan membunuh diri kamu. Maka, lakukanlah perdagangan yang fair, tidak zalim , yang disebut Al-quran dengan istilah ’an taradhin.

Dengan demikian, larangan memakan harta dengan cara yang bathil dalam ayat ini, dikaitkan dengan larangan membunuh diri kamu (wa la taqtulu anfusakum). Munasabah ayat ini menurut Ath-Thabari dan Al Sayis adalah bahwa kamu adalah ummat yang satu, maka jangan kamu membunuh dan menzalimi saudaramu sendiri, karena itu sama halnya dengan membunuh diri kamu sendiri. Al-Qasimi menafsirkannya, Janganlah kamu membunuh orang dari jenismu sendiri, karena semua kamu sesungguhnya adalah diri yang satu (Nafsun Wahidah).
Adapun penggalan ayat Innallaha Kana bi kum Rahima, maksudnya Sesungguhnya Allah Saw senantiasa menyayangi (merahmati) kamu. Munasabah ayat ini dengan penggalan ayat sebelumnya, ialah janganlah kamu saling membunuh, karena sesungguhnya Allah senantiasa menebarkan kasih sayangnya kepada kamu.

Ayat 29 surah An-Nisak ini sesungguhnya tidak hanya berisi tentang syarat sahnya perdagangan, yaitu kerelaan para pihak (’an taradhin), tetapi juga mengandung makna dan interptretasi yang luas. Larangan memakan harta dengan cara yang bathil mengharuskan kita untuk mengetahui apa saja cakupan bisnis yang bathil itu. Oleh karena itu perlu juga dipaparkan di sini bentuk-bentuk perdagangan yang bathil dalam Islam. Di atas tadi memang telah disebutkan secara singkat tentang maksud memakan harta dengan cara yang bathil. Tetapi belum jelaskan secara rinci apa saja dan bagaimana perdagangan yang bathil itu.
Perdagangan yang bathil ini dapat diketahui dari hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, antara lain, bay’ gharar, ba’i tadlis, ihtikar, ba’i najasy, dsb. Berikut akan dijelaskan satu persatu bisnis yang bathil itu.

1. Riba

Al-quran sangat mengecam keras pemakan riba dan menyebutnya sebagai penghuni neraka yang kekal selamanya di dalamnya (QS.2:275). Riba termasuk transaski yang bathil, bahkan hampir semua ulama menafsirkan firman Allah ”memakan harta dengan bathil” itu dengan riba sebagai contoh pertama. Riba secara etimologis berarti pertambahan Secara terminoligi syar’i riba ialah, penambahan tanpa adanya ’iwadh. Secara teknis, maknanya mengacu kepada premi yang harus dibayar si peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok yang disyaratkan sejak awal. Penambahan dari pokok itu disyaratkan karena adanya nasi’ah (penangguhan).

2. Talaqqi Rukban

Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan cara menyongsong pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa
”Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat) pedagang sebelum tiba di pasar” (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari)

Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi para pedagang. Substansi dari larangan talaqqi rukban ini adalah tidak adilnya tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga yang sesungguhnya yang terjadi di pasar. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang. Namun apabila transaksi jual beli antara dua pihak, dimana yang satu pihak memiliki informasi yang lengkap dan yang satu tidak tahu berapa harga di pasar sesungguhnya dan kondisi demikian dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka terjadilah penzaliman oleh pedagang kota terhadap petani yang dari desa. Hal inilah yang dilarang, tindakan talaqqi rukban tidak hanya menzalimi petani akan tetapi telah merusak keseimbangan pasar berada pada level yang lebih rendah. Praktek talaqqi rukban, memang tidak begitu banyak terjadi saat ini, sebab alat komunikasi telah berkembang sangat canggih, seperti hand phone dan telephon, sehingga informasi harga dengan mudah diketahui. Meskpun demikian, substansi larangan itu menjadi tetap penting untuk diperhatikan, sebab penipuan karena tidak tahu harga masih sering terjadi. Dengan larangan tersebut kata Monzer Kahf, Nabi Saw berusaha sungguh-sungguh memperkecil kesenjangan informasi di pasar. Beliau sangat tegas dalam mengatasi masalah penipuan dan monopoli dalam perdagangan sehingga beliau menyamakan penipuan dan monopoli dengan dosa-dosa yang paling paling besar.

3. Ba’i Najasy

Transaksi najasy diharamkan dalam perdagangan karena si penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga yang lebih tinggi, agar orang lain tertarik pula untuk membelinya. Si Penawar sendiri tidak bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli yang sebelumnya orang ini telah melakukan kesepakatan dengan penjual. Akibatnya terjadi permintaan palsu (false demand). Tingkat permintaan yang terjadi tidak dihasilkan secara alamiyah.

4. Tadlis

Tadlis ialah Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak unknown to one party. Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada sesuatu yang unknown to one party (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini merupakan asymetric information. Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis (penipuan), dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam:

1. Kuantitas;

2. Kualitas;

3. Harga; dan

4. Waktu Penyerahan

5. Jual Beli Gharar

Jual beli gharar ialah suatu jual beli yang mengandung ketidak-jelasan atau ketidak pastian. Jual beli gharar dan tadlis sama-sama dilarang, karena keduanya mengandung incomplete information. Namun berbeda dengan tadlis, di mana incomplete informationnya hanya dialamin oleh satu pihak saja (onknown to one party), misalnya pembeli saja atau penjual saja, dalam gharar incomplete information dialami oleh dua pihak, baik pembeli maupun penjual. Jadi dalam gharar terjadi ketidakpastian (ketidakjelasan) yang melibatkan dua pihak. Contohnya jual beli ijon, jual beli anak sapi yang masih dalam kandungan induknya, menjual ikan yang ada di dalam kolam, dsb. Sebagaimana tadlis, jual beli gharar juga terjadi pada empat hal, yaitu : kualitas, kuantitas, harga dan waktu.

6. Ihtikar

Pedagang dilarang melakukan ihtikar, yaitu melakukan penimbunan barang dengan tujuan spekulasi, sehingga ia mendapatkan keuntungan besar di atas keuntungan normal atau dia menjual hanya sedikit barang untuk mendapatkan harga yang lebih tinggi, sehingga mendapatkan keuntungan di atas keuntungan normal. Dalam ilmu ekonomi hal ini disebut dengan monopoly’s rent seeking. Larangan ihtikar ini terdapat dalam Sabda Nabi Saw,

عن معمر ابن عبد الله الن فضلة قال : سمعت رسول الله صلعم يقول : لا يحتكر إلا خاطئ
(رواه الترمذى)

Artinya ; Dari Ma’mar bin Abdullah bin Fadhlah, katanya, Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ”Tidak melakukan ihtikar kecuali orang yang bersalah (berdosa)”. (H.R.Tarmizi)

Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pengertian Khathi’ adalah orang yang salah, durhaka dan orang yang musyrik. Khathi’ adalah orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja yang berbeda dengan orang yang melakukan kesalahan tanpa sengaja. . Pengertian Khathi’ itu dijelaskannya ketika menafsirkan surah Al-qashash (28) ayat 8.

فا لتقطه أل فرعون ليكون لهم عدوا و حزنا ان فرعون و هامن وجنودهما كانوا خاطئين

Artinya, Dan pungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Firaun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang salah.

Di kalangan ulama memang terdapat perbedaan tentang barang yang terlarang untuk dijadikan obyek ihtikar. Namun, tampaknya ada kesamaan persepsi tentang tidak bolehnya ihtikar terhadap kebutuhan pokok. Imam Nawawi dengan tegas mengatakan ihtikar terhadap kebutuhan pokok haram hukumnya. Pendapat An-Nawawi ini sangat rasional, karena kebutuhan pokok menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun harus dicatat, bahwa banyak sekali terjadi pergeseran kebutuhan. Dulu mungkin suatu produk tidak begitu dibutuhkan dan tidak mengganggu kehidupan soaial, tetapi kini produk itu mungkin menjadi kebutuhan utama, minyalnya minyak, obat-obatan, dsb. Karena itu kita tak boleh terjebak kepada klasifikasi barang yang tak boleh ditimbun dan barang yang boleh> Tetapi perlu dirumuskan bahwa setiap penimbunan yang bertujuan untuk kepentingan spekulasi sehingga dampaknya mengganggu pasar dan soial ekonomi, maka maka ia dilarang.

Manajemen Keuangan dalam Perdagangan Al-quran juga mengajarkan agar dalam kegiatan perdagangan dilakukan pencatatan, yang dalam konteks kekinian disebut akuntansi. Hal ini secara tegas difirmankan Allah dalam Al-quran :

ياأيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبوه وليكتب بينكم كاتب بالعدل ولا يأب كاتب أن يكتب كما علمه الله فليكتب وليملل الذي عليه الحق وليتق الله ربه ولا يبخس منه شيئا فإن كان الذي عليه الحق سفيها أو ضعيفا أو لا يستطيع أن يمل هو فليملل وليه بالعدل واستشهدوا شهيدين من رجالكم فإن لم يكونا رجلين فرجل وامرأتان ممن ترضون من الشهداء أن تضل إحداهما فتذكر إحداهما الأخرى ولا يأب الشهداء إذا ما دعوا ولا تسأموا أن تكتبوه صغيرا أو كبيرا إلى أجله ذلكم أقسط عند الله وأقوم للشهادة وأدنى ألا ترتابوا إلا أن تكون تجارة حاضرة تديرونها بينكم فليس عليكم جناح ألا تكتبوها وأشهدوا إذا تبايعتم ولا يضار كاتب ولا شهيد وإن تفعلوا فإنه فسوق بكم واتقوا الله ويعلمكم الله والله بكل شيء عليم

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang yang akan ditulis itu). Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang lemah akalnya atau lemah keadaanya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan , maka hendaklah walinya mengimlakkannya dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa, seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil. Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada kepastian (tidak menimbulkan keraguan). Tulislah muamalah itu, kecuali muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskannya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yanag demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah seatu kefasikan pada dirimu Dan bertaqwalah kepada Allah. Allah mengajarmu dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.

Menurut ulama ayat ini mengharuskan para pihak yang berbisnis untuk menulis utang piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya, (dalam kondisi tertentu di hadapan notaris), sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.

Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedeqah dan berinfaq (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba (275-279) serta anjuran memberi tangguh kepada pihak yang tidak mampu membayar hutangnya itu (ayat 283). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis hutang piutang setelah anjuran dan larangan di atas, mengandung makna tersendiri.

Anjuran bersedeqah dan melakukan infaq di jalan Allah, merupakan pengejawantahan dari rasa kasih sayang yang murni. Selanjutnya larangan riba merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati. Maka dengan perintah menulis hutang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta tercermin keadilan yang didambakan Al-quran, sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedeqah dengan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Kata tadayantum yang di atas diterjemahkan dengan muamalah, terambil dari kata dayn. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh tiga huruf tsb selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Semuanya menggambarkan hubungan timbal balik atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang piutang.

Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga yag terbaca pada ayat berikut. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib, karena kepandaian tulis-menulis ketika itu sangat langka. Namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis, karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan hutang-piutang, pinjam dan meminjamkan dan bentuk-bentuk akad muamalah lainnya.
Menurut Al-Jashshas, sebagian ulama berpendapat bahwa pencatatan transaski hutang piutang hukumnya wajib, karena perintah (amar) untuk melakukannya.

Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransksi, dalam arti salah seorang menulis hutang piutang itu, selanjutnya apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca. Bila mitranya tidak pandai, maka mereka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan adil, yakni dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah dan perandangan yang berlaku, tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian dan kejujujuran.

Setelah menjelaskan tentang pencatatan, maka ayat berikutnya dalah menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun lainnya.”Dan persaksikanlah dengan dengan dua orang saksi dari dua orang-laki-laki di antara kamu”. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah ( شهيدين), bukan (شاهدين). Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar dan dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Saksi yang dimaksudkan ayat secara tegas adalah dua orang saksi laki-laki. Jika tidak ada dua orang saksi laki-laki tersebut, maka boleh 1 orang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu setujui menjadi saksi.

Etika dalam Perdagangan -perdagangan juga tidak boleh sampai melalaikan diri dari ibadah kepada Allah (zikir, shalat dan zakat). Hal ini diungkapkan Allah dalam surah An-Nur ayat 37.

رجال لا تلهيهم تجارة ولا بيع عن ذكر الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة يخافون يوما تتقلب فيه القلوب والأبصار

Artinya, yaitu orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat.

Surah An-Nur dan An-Nisak sama-sama madaniyah. Jika An-Nisak mensyaratkan perdagangan harus saling ridha, maka An-Nur, menjelaskan tentang ketidak bolehan perdagangan itu melalaikan diri dari ibadah kepada Allah.

Ketidak bolehan perdagangan melalaikan diri dari ibadah diperkuat lagi oleh surah Al-Jum’ah ayat 11. yang melarang ummat Islam berdagang (bertransaksi) ketika azan jumat telah dikumandangkan,

إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع

Artinya : …”Apabila kamu telah diseru untuk shalat jum’at, maka tinggalkanlah jual beli”.

Selanjutnya, kecintaan kepada perdagangan tidak boleh melebihi kecintaan kepada Allah, Rasulnya dan jihad fi sabilillah. Dalam surah Al-Jum’ah ini terdapat larangan kepada para pedagang agar tidak melakukan transaksi pada saat azan telah dikumandangkan. Orang-orang di masa Rasul begitu cinta kepada perdagangan harta benda yang cendrung melebihi kecintaan mereka kepada Allah dan Rasulnya, sehingga mereka tega meninggalkan Rasul yang sedang khutbah karena menyambut kedatangan kafilah dagang yang baru datang. Hal itu digambarkan Allah dengan kalimat,

وإذا رأوا تجارة أو لهوا انفضوا إليها وتركوك قائما

Artinya, Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu, sedang berdiri/berkhutbah.

Kesimpulannya, pedagang yanag mengindahkan norma-norma Al-Quran tidak akan melalaikan tugasnya kepada Allah lantaran mengurus dan melakukan aktivitas perdagangan.
Selanjutnya Al-quran mengajarkan prinsip keadilan dalam perdagangan dan melarang perilaku curang, seperti mengurangi takaran dan timbangan.

Alquran mengisahkan Nabi Syu’aib agar ummatnya menegakkan keadilan dalam perdagangan, sekaligus menghindari pengurangan takaran dan timbangan, dalam surah Hud-84-85.

وإلى مدين أخاهم شعيبا قال ياقوم اعبدوا الله ما لكم من إله غيره ولا تنقصوا المكيال والميزان إني أراكم بخير وإني أخاف عليكم عذاب يوم محيط(84)ويا قوم أوفوا المكيال والميزان بالقسط ولا تبخسوا الناس أشياءهم ولا تعثوا في الأرض مفسدين
Artinya ; Dan kepada suku Madyan, Allah mengutus saudara mereka bernama Syu’aib, Ia berkata kepada mereka, ”Hai kaumku, sembah kamulah Allah, tidak ada bagi kamu Tuhan selain dia dan janganlah kamu mengurangi takaran dan timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam kebajikan dan sesungguhnya aku takut jika kamu mendapat azab pada hari kiamat nanti, Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi harta manusia sedikitpun dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.

Kalimat Wala tabkhas asy-yaahum, sangat penting untuk dicermati , karena kata bakhasa yang artinya pengurangan. Alquran menegaskan bahwa perbuatan curang seperti itu sama dengan membuat kerusakan di muka bumi. Itulah rahasianya ayat ini diakhiri dengan kalimat Wa la ta’stau fir Ardhi Mufsidin.

Larangan berlaku curang dalam perdagangan juga terdapat dalam surah Al-An’am 152

وأوفوا الكيل والميزان بالقسط

Artinya : ”Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil”.

Penutup dan Kesimpulan dari keseluruhan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Al-quran cukup banyak menyebut istilah perdagangan dalam berbagai terma seperti tijarah, bay’i, syara’, bahkan juga terma-terma yang lain yang mempunyai hubungan dengan perdagangan dan ekonomi keuangan, seperti dayn, amwal, rizq, syirkah, dharb, dsb.
Konsep perdagangan yang dibicarakan Al-Quran pada umumnya bersifat prinsi-prinsip yang menjadi pedoman dalam perdagangan sepanjang masa, sesuai dengan karakter keabadian Al-Quran. Dengan demikian Al-quran tidak menjelaskan konsep perdagangan secara rinci. Seandainya Alquran berbicara secara rinci dan detail, maka ia akan sulit untuk menjawab perbagai persoalan perdagangan yang senantiasa berubah dan berkembang dalam menghadapi tantangan zaman.

Prinsip-prinsip perdagangan yang diajarkan Alquran ialah :

Pertama : Setiap perdagangan harus didasari sikap saling ridha di antara dua pihak, sehingga para pihak tidak merasa dirugikan atau dizalimi.

Kedua : Penegakan prinsip keadilan, baik dalam takaran, timbangan, ukuran mata uang (kurs), dan pembagian keuntungan,

Ketiga : Prinsip larangan riba (interest free)

Keempat: Kasih sayang, tolong menolong dan persaudaraan universal

Kelima: Dalam kegiatan perdagangan tidak melakukan investasi pada usaha yang diharamkan seperti usaha-usaha yang merusak mental misalnya narkoba dan pornograpi. Demikian pula komoditas perdagangan haruslah produk yang halal dan thayyib baik barang maupun jasa.

Keenam: Perdagangan harus terhindar dari praktek spekulasi, gharar, tadlis dan maysir

Ketujuh: Perdagangan tidak boleh melalaikan diri dari beribadah (shalat dan zakat) dan mengingat Allah.

Kedelapan :Dalam kegiatan perdagangan baik hutang-piutang maupun bukan, hendaklah
dilakukan pencatatan yang baik (akuntansi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar